Dibutuhkan: Fikih Kebinekaan

Sabtu, 7 Juni 2025 09:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Dibutuhkan: Fikih Kebinekaan
Iklan

Fikih kebinekaan adalah jalan yang ditandai oleh kesediaan untuk berkompromi dengan realitas sosial.

Oleh Gunoto Saparie

Di sebuah simpang jalan di Semarang, seorang perempuan berjilbab dan laki-laki bertato saling menepi memberi jalan. Di antara mereka, seorang pemuda Kristen dengan kalung salib tampak menyapa tukang becak yang tengah mengantarkan dua santri kecil. Tidak ada khutbah, tidak ada tafsir. Tetapi barangkali inilah yang dulu dimaksud para bijak sebagai kebinekaan: keragaman yang tidak diumumkan, hanya dijalani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, kehidupan tidak selamanya bersahabat. Di tengah derasnya arus identitas dan riuh klaim kebenaran, ayat-ayat bisa kehilangan heningnya. Tafsir menjelma senjata, bukan jendela. Fikih– yang mestinya lentur karena dibangun atas ijtihad manusia–berubah menjadi monumen beku.

Maka, kita pun butuh sesuatu yang lebih dari sekadar doktrin: kita butuh fikih kebinekaan. Fikih ini bukan soal hukum halal-haram semata. Ia bukan hanya soal boleh-tidaknya berbeda. Fikih kebinekaan adalah upaya menggali dari dalam teks-teks suci, bukan sekadar bunyi, tapi denyut hidup: bagaimana agama menjawab kenyataan bahwa manusia memang berbeda—agama, suku, bahasa, bahkan tafsir.

Para pemikir Islam sejak abad pertengahan tahu, agama bukan benda mati. Al-Ghazali, Ibn Arabi, sampai Syahrur yang lebih mutakhir, paham benar: teks bisa satu, tapi pembacaan tidak bisa tunggal. Maka dalam fikih kebinekaan, yang menjadi pusat bukan hanya dalil, tapi juga cara membaca dalil. Ini metodologi, bukan hanya isi. Kita diminta membaca ulang, bukan sekadar mengulang. Menyusuri sejarah ayat, bukan menempatkannya dalam ruang kedap waktu. Bahwa ayat-ayat tentang perang, tentang larangan berteman dengan “yang lain,” tidak lahir dalam kekosongan. Ia lahir dalam perang, ketakutan, dan kadang dendam sejarah. Tapi sejarah bergerak. Dan agama, kalau ingin tetap hidup, harus bisa berjalan bersamanya, tanpa kehilangan nuraninya. Fikih kebinekaan adalah jalan yang ditandai oleh kesediaan untuk berkompromi dengan realitas sosial.

Tapi bukan kompromi yang menyerah. Ia justru memelihara semangat awal agama: rahmat bagi semesta, bukan hanya bagi yang sepaham. Ia menjadi panduan praksis bagi umat Islam Indonesia untuk tidak menjadikan mayoritas sebagai senjata, dan minoritas sebagai korban. Di titik inilah, fikih kebinekaan menjadi penting bukan hanya bagi umat, tapi juga bagi negara. Ia bisa menjadi pilar bagi konstitusi yang ingin membela hak-hak warga secara adil. Ia menolak diskriminasi atas nama Tuhan. Ia memperkuat demokrasi bukan karena demokrasi itu Barat, tapi karena ia sesuai dengan cita keadilan dalam Al-Quran.

Namun, tentu saja, semua ini berpulang pada keberanian membaca ulang kitab suci—dengan kacamata sejarah, dengan hati yang terbuka. Tidak semua orang nyaman. Sebagian merasa itu membahayakan iman. Tapi bukankah yang rapuh bukanlah iman, melainkan rasa takut kehilangan kekuasaan atas tafsir?

Fikih kebinekaan tidak menjanjikan surga dalam satu paket. Tetapi ia mengajarkan cara hidup bersama sebelum kita tiba di sana. Seperti di simpang jalan Semarang itu: tidak ada yang mempersoalkan dari mana asalmu, apa agamamu. Mereka hanya saling memberi jalan. Karena hidup memang tidak dimulai dari perbedaan, tapi dari kesediaan untuk menghargai. Dan mungkin, di situlah letak ibadah yang sejati.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah

Bagikan Artikel Ini
img-content

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

img-content

Dibutuhkan: Fikih Kebinekaan

Sabtu, 7 Juni 2025 09:39 WIB
img-content

Lahirnya Angkatan Puisi Esai

Kamis, 5 Juni 2025 09:34 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua